Diserbu Hoaks dan Buzzer, Apakah Gen Z Siap Hadapi Pemilu?
Pemilu 2024 menjadi panggung besar bagi demokrasi Indonesia, dan Generasi Z kelompok muda berusia 17–26 tahun muncul sebagai kekuatan elektoral yang dominan. Terlahir di era digital, Gen Z sangat aktif di media sosial dan menjadikannya sebagai sumber utama informasi politik. Sayangnya, hoaks, buzzer politik, dan disinformasi menyerbu ruang digital dan mengancam objektivitas Gen Z dalam menentukan pilihan.
Media Sosial: Sumber Informasi Sekaligus Ladang Hoaks
Dengan lebih dari 92% pengguna internet di Indonesia menggunakan media sosial, platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) menjadi saluran utama kampanye politik. Konten visual dan emosional memengaruhi Gen Z lebih kuat daripada argumen yang rasional atau panjang.
Namun, algoritma media sosial menciptakan “echo chamber”, di mana Gen Z hanya terpapar pada informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri. Tanpa literasi digital yang memadai, ini memperkuat risiko manipulasi opini publik.
Ancaman Nyata: Dari Hoaks ke Polarisasi
Berikut beberapa tantangan serius yang dihadapi Gen Z dalam Pemilu 2024:
- Hoaks Politik
Kementerian Kominfo mencatat lebih dari 2.600 hoaks politik beredar antara Juli 2023 hingga Januari 2024. Konten palsu ini sering viral karena tampil menarik dan menyesatkan. - Buzzer Politik
Akun-akun buzzer kerap menyebarkan narasi politis yang berat sebelah. Mereka memperkuat opini tertentu tanpa mengedepankan fakta, menyesatkan pemilih muda yang belum terlatih berpikir kritis. - Bias Konfirmasi
Gen Z lebih tertarik pada narasi yang sesuai dengan pandangannya. Akibatnya, mereka cenderung menolak fakta yang bertentangan dan kehilangan kemampuan untuk melihat dari sudut pandang lain.
Langkah Cerdas agar Gen Z Tak Terjebak
Pemerintah, pendidik, dan masyarakat perlu menerapkan strategi konkret agar Gen Z tidak mudah terpengaruh dan dapat memilih secara bijak, antara lain :
- Tingkatkan Literasi Digital:
Pendidik, orang tua, dan institusi perlu membekali Gen Z dengan kemampuan mengecek fakta, mengenali hoaks, dan menganalisis konten secara kritis. - Kampanye Politik yang Edukatif:
Kandidat harus memanfaatkan media sosial secara transparan, bukan sekadar gimmick. Visi-misi harus dijelaskan secara visual, interaktif, dan jujur. - Dorong Diskusi Terbuka dan Inklusif:
Media sosial bisa menjadi ruang belajar politik, bukan medan perang komentar negatif. Tim kampanye perlu memperkuat pendekatan edukatif dalam menyampaikan pesan politik. - Ajarkan Evaluasi Berdasarkan Rekam Jejak:
Gen Z perlu membiasakan diri menilai kandidat berdasarkan bukti nyata, bukan sekadar viralitas atau gaya bicara.
Gen Z menghadapi hoaks pemilu dengan tantangan yang tidak kecil. Untuk membentuk pemilih cerdas di era digital, para pembuat kebijakan harus memastikan Gen Z menguasai keterampilan memverifikasi informasi dan menganalisis konten secara kritis.
Di tengah serangan buzzer dan konten manipulatif, Gen Z harus menjadi pemilih yang sadar, rasional, dan berani mencari kebenaran. Karena suara mereka bukan hanya sekadar angka, tapi arah masa depan bangsa
IDSCIPUB mendukung akademisi, mahasiswa, dan peneliti yang ingin menerbitkan artikel tentang media digital, generasi muda, atau studi politik ke jurnal nasional maupun internasional..