Pariwisata dan Ancaman Budaya di Baduy Dalam: Dilema antara Tradisi dan Teknologi
Pariwisata yang berkembang di wilayah Baduy Dalam, Banten, telah menjadi daya tarik besar bagi wisatawan yang penasaran dengan gaya hidup tradisional dan nilai-nilai kearifan lokal suku Baduy. Sejak desa ini diangkat sebagai salah satu desa wisata, minat terhadap kawasan tersebut meningkat tajam. Namun, di balik geliat ekonomi yang tumbuh, ada dilema yang semakin nyata: kelestarian budaya Baduy Dalam mulai terancam.
Salah satu perubahan paling mencolok muncul dari para pemandu wisata lokal. Demi menyesuaikan diri dengan ekspektasi wisatawan modern, sebagian dari mereka kini menggunakan ponsel dan media sosial, khususnya Instagram, untuk promosi dan komunikasi. Hal ini menjadi kontradiktif, karena masyarakat Baduy Dalam secara tegas menganut adat yang melarang penggunaan teknologi. Ironisnya, penggunaan teknologi tersebut dilakukan secara diam-diam, sebagai bentuk kompromi demi memenuhi kebutuhan wisatawan yang menginginkan akses cepat dan kenyamanan digital.
Ketegangan antara Adat dan Kebutuhan Ekonomi
Perubahan ini bukan hanya soal pelanggaran aturan adat, tetapi juga mengungkap tekanan ekonomi yang kian mendesak. Wisata memberikan sumber pendapatan baru bagi masyarakat, namun sekaligus membuka celah bagi masuknya nilai-nilai modern yang bertentangan dengan filosofi hidup Baduy. Ketergantungan pada pemasukan dari sektor wisata secara perlahan memicu perubahan gaya hidup dan orientasi generasi muda, yang mulai mempertanyakan relevansi larangan adat di tengah arus globalisasi.
Para tetua adat masih rutin menjalankan patroli untuk menegakkan aturan dan mengawasi pelanggaran seperti penggunaan alat elektronik. Namun, mereka kesulitan membendung daya tarik ekonomi dari sektor wisata. Bahkan, sebagian masyarakat mulai menganggap pelanggaran terhadap nilai adat sebagai “konsekuensi wajar” dari keterbukaan terhadap dunia luar.
Strategi Adaptasi: Dari Wisata ke Saba Budaya
Sebagai respons terhadap ketegangan ini, pemerintah dan pemimpin adat menggagas pendekatan baru melalui konsep “Saba Budaya”. Istilah ini dipilih untuk menggantikan makna wisata menjadi bentuk kunjungan budaya yang lebih menghormati nilai-nilai lokal. Tujuannya bukan sekadar menarik wisatawan, tetapi membentuk kesadaran bahwa mereka hadir sebagai tamu budaya, bukan sebagai konsumen hiburan.
Namun dalam praktiknya, pelanggaran adat masih terjadi. Masyarakat Baduy Dalam belum berhasil membendung pergeseran nilai hanya dengan mengganti istilah. Tekanan ekonomi akibat penetapan desa mereka sebagai destinasi wisata justru mempersulit mereka untuk memilih antara mempertahankan adat atau mengakomodasi realitas ekonomi.
Rekomendasi dan Refleksi Budaya
Penelitian ini merekomendasikan penguatan aturan bagi wisatawan dan peningkatan edukasi mengenai pentingnya pelestarian budaya lokal. Pemerintah daerah dan otoritas pariwisata perlu mempertimbangkan kembali kebijakan pengklasifikasian Baduy sebagai desa wisata. Menghapus status tersebut bisa menjadi langkah strategis untuk melindungi identitas budaya dari infiltrasi modernisasi yang tidak terkendali.
Apakah kamu sedang meneliti isu pelestarian budaya, pariwisata berkelanjutan, atau konflik antara adat dan modernitas?
IDSCIPUB siap mendampingi proses publikasi ilmiahmu, dari penulisan hingga penerbitan di jurnal nasional maupun internasional bereputasi.
Source : https://www.ilomata.org/index.php/ijss/article/view/1379